Kamis, 07 Januari 2010

Kepuasan Kerja vs Produktivitas

Karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karyawan memegang peran utama dalam menjalankan roda kehidupan perusahaan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka laju roda pun akan berjalan kencang, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Di sisi lain, bagaimana mungkin roda perusahaan berjalan baik, kalau karyawannya bekerja tidak produktif, artinya karyawan tidak memiliki semangat kerja yang tinggi, tidak ulet dalam bekerja dan memiliki moril yang rendah.
Adalah menjadi tugas manajemen agar karyawan memiliki semangat kerja dan moril yang tinggi serta ulet dalam bekerja. Berdasarkan pengalaman dan dari beberapa buku yang pernah saya baca, biasanya karyawan yang puas dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya karyawan yang kepuasan kerjanya rendah, cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan membosankan, sehingga ia bekerja dengan terpaksa dan asal-asalan. Untuk itu merupakan keharusan bagi perusahaan untuk mengenali faktor-faktor apa saja yang membuat karyawan puas bekerja di perusahaan. Dengan tercapainya kepuasan kerja karyawan, produktivitas pun akan meningkat.
Banyak perusahaan berkeyakinan bahwa pendapatan, gaji atau salary merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Sehingga ketika perusahaan merasa sudah memberikan gaji yang cukup, ia merasa bahwa karyawannya sudah puas. Sebenarnya kepuasan kerja karyawan tidak mutlak dipengaruhi oleh gaji semata. Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, diantaranya adalah kesesuaian pekerjaan, kebijakan organisasi termasuk kesempatan untuk berkembang, lingkungan kerja dan perilaku atasan.
Dari penelitian yang pernah saya lakukan, ternyata gaji menempati urutan yang kesekian dari faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, dan dari kesemua faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan, kesempatan untuk berkembang merupakan faktor yang sering muncul dan dikemukakan oleh karyawan sebagai kriteria kepuasan kerja mereka. Maksudnya adalah sebagian besar karyawan mengatakan tidak puas lebih karena mereka merasa tidak pernah atau bahkan tidak ada peluang untuk berkembang atau dikembangkan oleh perusahaan. Sehingga mereka merasa seolah-olah tidak ada perhatian dari perusahaan tentang karir mereka. Terkadang hal ini membuat mereka frustasi dan berakibat pada demotivasi.
Sebuah penelitian pada perusahaan yang tingkat keluar masuk karyawannya tinggi, mengungkapkan bahwa gaji tidak selalu merupakan faktor utama yang membuat karyawan keluar dari perusahaan, dengan mencari peluang mendapatkan gaji yang lebih tinggi di luar. Sebaliknya, perusahaan dengan tingkat keluar masuk karyawannya rendah, faktor utama yang menyebabkan karyawan betah dan bertahan bukan faktor gaji, tetapi lebih dikarenakan faktor emosional, terutama kesempatan untuk berkembang.
Apakah benar demikian? Bahwa kebutuhan emosional yaitu keinginan untuk berkembang lebih utama dibandingkan gaji yang besar? Saya mencoba mengaitkannya dengan teori Maslow tentang kebutuhan manusia. Bila dilihat dari hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow, dapat disimpulkan bahwa kompensasi atau penghargaan yang diberikan kepada karyawan dalam bentuk material, dalam hal ini gaji merupakan kebutuhan manusia atau karyawan yang terrendah. Dimana menurut Maslow, jenjang kebutuhan manusia sebagai karyawan dari yang terrendah hingga yang tertinggi adalah :
• Physiological Needs (Kebutuhan fisiologis/dasar/pokok)
• Safety Needs (kebutuhan akan rasa aman).
• Social/Affiliation Needs (kebutuhan untuk bersosialisasi)
• Esteem Needs (kebutuhan harga diri).
• Self-actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri).
Dari tingkat kebutuhan manusia menurut Maslow tersebut, kompensasi dalam bentuk sentuhan emosional merupakan level yang lebih tinggi, dibandingkan kebutuhan fisik/dasar. Level tertinggi yaitu Self-actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri) membuktikan bahwa karyawan lebih senang apabila diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan diakui oleh perusahaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian, bahwa karyawan ingin mendapat kesempatan berkembang dan menunjukkan kemampuannya.
Untuk lebih meyakini bahwa kesempatan berkembang merupakan faktor utama bagi kepuasan kerja karyawan, kita dapat membandingkan tingkat kepuasan karyawan baru dan karyawan lama di perusahaan. Karyawan baru cenderung mempunyai tingkat kepuasan lebih tinggi dibandingkan karyawan yang masa kerjanya lebih lama. Hal ini dikarenakan, biasanya karyawan baru mendapatkan perhatian lebih dari Manajemen, terutama dari atasannya langsung. Perhatian lebih ini dikarenakan sebagai karyawan baru, tentu pihak manajemen akan menjelaskan tanggung jawab dan tugas mereka. Sehingga terjalin komunikasi antara atasan dan bawahan. Hal ini membuat mereka merasa diperhatikan dan bersemangat untuk bekerja. Bahkan tidak sedikit karyawan baru yang mendapatkan beberapa training untuk menunjang tugasnya di awal masa kerja.
Sementara itu, karyawan lama yang sudah bekerja dalam kurun waktu tertentu, akan merasakan kejenuhan. Mereka menginginkan adanya perubahan dan tantangan baru dalam pekerjaannya. Tantangan ini mencakup baik dari sisi besarnya tanggung jawab atau mungkin jenis pekerjaan. Ketika perusahaan tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkembang, hal ini akan membuat mereka demotivasi, malas bekerja dan produktivitasnya turun. Apabila perasaan ini dirasakan oleh sebagian besar karyawan lama, bisa dibayangkan betapa rendahnya tingkat produktivitas perusahaan secara keseluruhan dan bila dibiarkan perusahaan akan merugi.
Dari uraian singkat ini, kita sepakat mengamini bahwa benar ada hubungan positif antara kepuasan kerja karyawan dengan produktivitas karyawan, yang ujungnya akan berimbas pada pencapaian perusahaan. Maka perusahaan hendaknya jangan memandang upaya peningkatan kepuasan karyawan hanya sebagai biaya saja, karena karyawan yang puas justru akan meningkatkan laba perusahaan pada jangka panjang. Apabila karyawan puas, maka ada beberapa biaya yang dapat dipangkas, misalnya: terjadinya penurunan ketidakhadiran (absensi), turnover karyawan, serta yang jelas ada peningkatan produktivitas karyawan.
Pertanyaannya, sudahkah kita tahu apakah karyawan kita puas atau tidak? Apabila jawabannya belum, bersegeralah melaksanakan survei tingkat kepuasan karyawan. Dengan melaksanakan survei kepuasan karyawan, banyak manfaat yang dapat dirasakan perusahaan, selain perusahaan dapat mengetahui tingkat kepuasan karyawan, perusahaan juga dapat memberikan citra yang positif kepada karyawan. Karena dengan melaksanakan survei ini, karyawan merasa diperhatikan dan merasa bahwa perusahaan ingin tahu apa yang dirasakan oleh karyawan. Jadi, tunggu apalagi?
Posted by: admin in Artikel Bebas
(Artikel ini pernah dimuat di majalah Eksekutif, Juli 2006)

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow / Abraham Maslow - Ilmu Ekonomi

Nama Kelompok :

Siti Nurmala 10507229

Dea andelia dwiriani 10507047

Steffy A.N.F 10507234

Dwi Utami 10507063

Venynsia Dine F 10507311



Teori Hierarki Kebutuhan Maslow / Abraham Maslow - Ilmu Ekonomi

· Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi.

Kebutuhan maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.

Lima (5) kebutuhan dasar Maslow - disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial :

1. Kebutuhan Fisiologis

Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.

2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan

Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.

3. Kebutuhan Sosial

Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.

4. Kebutuhan Penghargaan

Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.

· Motivasi adalah dorongan untuk mencapai tujuan tertentu. Dorongan itu bisa saja berbentuk: antusiasme, harapan dan semangat. Semua yang kita lakukan setiap hari senantiasa dibayangi oleh adanya motivasi. Misalnya, seorang karyawan yang bekerja tentu saja memiliki motivasi bekerja, begitu pula seorang atlet memiliki motivasi bertanding, seorang pelajar dengan motivasi belajar, dan lain sebagainya.

· Dasar Pemikiran

Salah satu cara memahami hakekat manusia adalah dengan pendekatan yang lebih mengarah kepada teori tentang kepribadian manusia. Dewasa ini telah banyak hasil yang dicapai oleh para ahli psikologi dalam usaha untuk menyusun teori kepribadian . Pembahasan tentang kepribadian ini berkaitan erat dengan perilaku manusia yang salah satu determinannya adalah motivasi.
Berdasarkan penggolongan determinan perilaku manusia itulah para ahli psikologi mengemukakan teori-teorinya tentang motivasi. Di antara teori motivasi yang dikemukakan adalah teori aktualisasi diri yang pertama kali dikemukakan oleh Carl Rogers dan kemudian dikembangkan oleh Abraham H. Maslow. Abraham H. Maslow ini dianggap sebagai tokoh madzhab ketiga dari aliran psikologi yang melakukan penelitan dengan cara meneliti orang-orang yang sehat sebagai obyeknya.

· teori Motivasi Maslow

1. Hakikat Manusia

Tentang hakekat manusia Maslow berpendapat bahwa manusia memiliki satu kesatuan jiwa dan raga yang bernilai baik, dan memiliki potensi-potensi. Yang dimaksud baik itu adalah yang mengakibatkan perkembangan kea rah aktualisasi diri.

2. Kebutuhan Pokok Manusia

Manusia memiliki kebutuhan dasar yang akan selalu menjadi motivasi perilakunya, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan memiliki dan rasa cinta, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Untuk dapat sampai pada tingkat aktualisasi diri semua kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada tingkat sebelumnya harus terpenuhi. Selain kebutuhan pokok tersebut yang disebut basic needs manusia juga memiliki metaneeds sebagai kebutuhan pertumbuhan seperti keadilan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan.

3. Kebutuhan Pokok sebagai Unsur Motivasi

Teori Motivasi Maslow dibentuk atas dasar teori hirarki kebutuhan pokok. Dengan kata lain pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok inilah yang memotivasi manusia berbuat sesuatu. Teori ini tidak sekedar bersifat homeostatis tetapi juga homeostatis psikologis. Bahkan pada tingkat puncak kebutuhan yang disusun Maslow mengarah kepada mistisisme.

C. Hasil Perbandingan

1. Fitrah Manusia

· menurut Maslow nilai-nilai yang baik adalah yang dapat mengantarkan manusia memenuhi kebutuhan pokoknya dan mencapai aktualisasi diri.

2. Kebutuhan Manusia

Bila Maslow mengelompakan kebutuhan manusia ke dalam lima macam secara hirarkis, maka membaginya ke menjadi dua yaitu kebutuhan mutlak yang bersifat vertikal, dan kebutuhan terikat yang bersifat horizontal. Kebutuhan horizontal merupakan media dan sarana untuk memenuhi kebutuhan vertikal yakni mencapai kedekatan dengan Allah SWT. Klasifikasi kebutuhan dalam teori Al-Ghazali ini didasarkan kepada etika dan moral. Sedangkan Maslow mendasarkannya pada kepuasan yang relatif. Sekalipun dengan istilah yang berbeda, tujuan dari kebutuhan-kebutuhan tersebut baik menurut keduanya adalah untuk mencapai pengalaman puncak (peak experience).
3. Psikoterapi

a. Emosi



· Sementara itu Maslow menyodorkan konsep pendidikan humanistik yang bertujuan mengembangkan potensi-potensi manusia sehingga dapat mencapai aktualisasi diri. Pendidikan yang ideal adalah yang memberi kebebasan belajar sesuai keinginan, dapat dicapai oleh siapapun selama ia dapat memperbaiki dan belajar, dan memberikan kesempatan kepada siswa menemukan apa yang disukai dan diinginkannya. Tujuan pendidikan adalah menemukan identitias diri sebagai dasar mencapai tujuan hidup. Maslow mendukung pendidikan yang



· bermoral dan mencela yang sebaliknya (value free education).


· Pada umumnya para ahli teori perilaku beropini bahwa dalam setiap perilakunya manusia mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Keberadaan tujuan tersebut, menjadi tumpuan sinergi dengan para ahli teori motivasi yang berusaha berfikir dan mencari cara agar manusia dapat didorong berkontribusi memenuhi kebutuhan dan keinginan organisasi. Tenaga kerja penting dimotivasi untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa motivasi mereka bekerja dalam keadaan sakit hati yang menjurus pada ketiadaan kontribusi bahkan terbuka peluang kontribusi yang merugikan.

· Teori hierarkhi kebutuhan Maslow menyiratkan manusia bekerja dimotivasi oleh kebutuhan yang sesuai dengan waktu, keadaan serta pengalamannya. Tenaga kerja termotivasi oleh kebutuhan yang belum terpenuhi dimana tingkat kebutuhan yang lebih tinggi muncul setelah tingkatan sebelumnya. Masing-masing tingkatan kebutuhan tersebut, tidak lain : kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, perwujudan diri. Dari fisiologis bergerak ke tingkat kebutuhan tertinggi, yaitu, perwujudan diri secara bertahap. Terlepas menerima atau tidak kebutuhan berhierarkhi, mengetahui jenis-jenisnya adalah memberikan kontribusi silang saling memenuhi. Seperti seseorang berusaha keras mencari pekerjaan yang tidak lain mengimplementasikan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan fisiologis. Lantas bagaimana dengan fakta bayi yang baru dilahirkan adalah bukan langsung makan tetapi dia menangis yang tidak lain kebutuhan sosial. Juga masih tentang bayi, beberapa penelitian membuktikan bayi menangis jika ingin disusui oleh ibunya. Yang paling tidak lucu tampak kejadian banyak perusahaan merekrut tenaga penjualan langsung dengan syarat memiliki kendaraan beroda empat (Mobil).

· Secara umum diketahui Frederick Herbertg berteori dua situasi yang mempengaruhi tenaga kerja saat bekerja. Situasi pertama,yaitu, pemuasan yang berarti sumber kepuasan kerja seperti:prestasi, pengukuhan hasil kerja, daya tarik pekerjaan, dan tanggung jawab serta kemajuan. Situasi kedua tidak lain ketidak puasan yang bersumber dari: kebijakan, supervisi, uang, status, rasa aman, hubungan antar manusia, dan kondisi kerja. Dalam hal ini, jika situasi pertama tidak ada tidak menimbulkan ketidak puasan berlebihan. Karena ketidakpuasan muncul dari tidak memperhatikan situasi kedua. Perhatian terhadap indikator situasi pertama menjadi motivasi tenaga kerja dalam bekerja. Tampak berbasis teori ini jika ingin tenaga kerja termotivasi maka mesti memberikan situasi pertama.

Motivasi, drive reinforcement dan teori harapan

Nama Kelompok :

Dea andelia dwiriani 10507047

Siti Nurmala 10507229

Steffy A.N.F 10507234

Dwi Utami 10507063

Venynsia Dine F 10507311



Motivasi

Motivasi = motif, Kebutuhan (NEED), Desakan (URGE), Keinginan (WISH), Dorongan (DRIVE).

Motivasi adalah keadaan dalam diri seseorang yg mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-2x tertentu guna mencapai suatu tujuan. Tiap kegiatan yg dilakukan oleh seseorang di dorong oleh suatu kekuatan dalam diri orang tsb; kekuatan pendorong inilah yg disebut motivasi ð kebutuhan; rasa aman, prestige → harus diciptakan/ didorong sebelum memenuhi sebagai suatu motivasi diri sendiri diluar dirinya.

Motivasi masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan & keinginan setiap anggota organisasi berbeda “UNIK” scr Biologis & Psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yg berbeda pula.

Motivasi Internal : dari diri sendiri

~ Hirarki Kebutuhan Maslow

~ Motif Berprestasi Mc Clelland

Jadi Kebutuhan & Keinginan yg ada dalam diri seseorang akan menimbulkan motivasi internalnya → kekuatannya akan mempengaruhi pikirannya, → selanjutnya akan mengarahkan perilaku orang tsb. → ingin nilai A’

►Motivasi Fisiologis (Biologis)

►Motivasi Psikologis :

a. Affectional Motivation

b. Ego-Defensive Motivation

c. Ego-Bolstering Motivation : Mengembangkan diri, Berprestasi, Pengakuan & Dominasi org lain.

Motivasi Eksternal : Kekuatan individu yg dipengaruhi faktor-2x extern yg dikendalikan pimpinan/ manajer : gaji, kondisi kerja, penghargaan, hub. Kerja, tanggung jawab, pengembangan Positif Negatif. » Teori Mc Gregor ; Herzberg

1. Pengertian Motivasi Kerja

Menurut arti katanya, motivasi atau motivation berarti motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan. Dalam kamus administrasi, Drs. The Liang Gie CS, memberikan perumusan akan motivating atau pendorong kegiatan sebagai berikut: “pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer dalam memberikan insprasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam hal ini karyawannya untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan ornag-orang atau karyawan agar mereka besemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari ornag-orang tersebut.
Di bawah ini tercantum beberapa definisi atau pengertian motivasi kerja dari sejumlah penulis sebagai berikut:

• George R. Terry berpendapat “motivasi kerja adalah suatu keinginan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak sesuatu”.

• Dr. Sondan P. Siagian, MPA berpendapat bahwa: “Motivasi kerja merupakan keseluruhan proses pemberian motivasi berkerja para bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.

• Wahjosumadjo menyatakan, “motivasi kerja merupakan suatu prsoses psikologis yang mencerminkan interaski antara sikap kebutuhan persepsi dan kepuasan yang terjadi pada diri seseorang.

• G. Terry mengemukakan bahwa “Motivasi diartikan sebagai mengusahakan supaya seseorang dapat menyelesaikan mempekerjaan dengan semangat karena ia ingin melaksanakannya”.

• M. Manullang memberikan pengertian motivasi sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer memberikan inspirasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam hal ini karyawan untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan orang-orang karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari orang-orang tersebut.

2. Teori Motivasi Kepuasan.

Teori yang didasarkan pada kebutuhan insan dan kepuasannya. Maka dapat dicari faktor-faktor pendorong dan penghambatnya. Pada teori kepuasan ini didukung juga oleh para pakar seperti Taylor yang mana teorinya dikenal sebagai Teori Motivasi Klasik. Teori secara garis besar berbicara bahwa motivasi kerja hanya dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan kerja baik secara biologis maupun psikologis. Yaitu bagaimana mempertahankan hidupnya. Selain itu juga Teori Hirarki Kebutuhan (Need Hirarchi) dari Abraham Maslow yang menyatakan bahwa motivasi kerja ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan kerja baik secara biologis maupun psikologis, baik yang berupa materi maupun non-materi. Secara garis besar tersebut teori jenjang kebutuhan dari Maslow dari yang rendah ke yang paling tinggi yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah merasa puas, karena kepuasannya bersifat sangat relatif maka disusunlah hirarki kebutuhan seperti hasrat menyususn dari yang teruraikan sebagai berikut:

1. Kebutuhan pokok manusia sehari-hari misalnya kebutuhan untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan fisik lainnya (physical need). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah, apabila sudah terpenuhi maka diikuti oleh hirarki kebutuhan yang lainnya.

2. Kebutuhan untuk memperoleh keselamatan, keselamatan, keamanan, jaminan atau perlindungan dari yang membayangkan kelangsungan hidup dan kehidupan dengan segala aspeknya (safety need).

3. Kebutuhan untuk disukai dan menyukai, disenangi dan menyenangi, dicintai dan mencintai, kebutuhan untuk bergaul, berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menjadi anggota kelompok pergaulan yang lebih besar (esteem needs).

4. Kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan, keagungan, kekaguman, dan kemasyuran sebagai seorang yang mampu dan berhasil mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil prestasi yang luar biasa (the need for self actualization). Kebutuhan tersebut sering terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari melalui bentuk sikap dan prilaku bagaimana menjalankan aktivitas kehidupannya.

5. Kebutuhan untuk memperoleh kehormatan, pujian, penghargaan, dan pengakuan (esteem need).

3. Teori Motivasi Proses.

Teori ini berusaha agar setiap pekerja giat sesuai dengan harapan organisasi perusahaan. Daya penggeraknya adalah harapan akan diperoleh si pekerja. Dalam hal ini teori motivasi proses yang dikenal seperti :

a. Teori Harapan (Expectancy Theory), komponennya adalah: Harapan, Nilai (Value), dan Pertautan (Instrumentality).

b. Teori Keadilan (Equity Theory), hal ini didasarkan tindakan keadilan diseluruh lapisan serta obyektif di dalam lingkungan perusahaannya.

c. Teori Pengukuhan (Reinfocement Theory), hal ini didasarkan pada hubungan sebab-akibat dari pelaku dengan pemberian kompensasi.

4. Teori Motivasi Prestasi (Achievement Motivation) dari McClelland

Teori ini menyatakan bahwa seorang pekerja memiliki enerji potensial yang dapat dimanfaatkan tergantung pada dorongan motivasi, situasi, dan peluang yang ada. Kebutuhan pekerja yang dapat memotivasi gairah kerja adalah :

1. Kebutuhan akan prestasi dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses.

2. Kebutuhan akan kekuasaan : kebutuhan untuk membuat orang berprilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu (tanpa dipaksa) tidak akan berprilaku demikian.

3. Kebutuhan akan afiliasi : hasrat untuk hubungan antar pribadi yang ramah dan karib

4. Teori Abraham H. Maslow (Teori Humanistik)

Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat mengenai konsep motivasi manusia dan mempunyai lima hierarki kebutuhan, yaitu :
• Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah)

Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti rumah, kendaraan dll. Menjadi motif dasar dari seseorang mau bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi organisasi.

• Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs)

Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya.

• Kebutuhan sosial (Social Needs)

Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.

• Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs)

Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian. Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya se¬seorang serta prestise yang ditampilkannya.

• Kebutuhan Akutualisasi Diri (Self Actualization)

Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat mensinkronisasikan antara cita diri dan cita organisasi untuk dapat melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi.

Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga.
Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.

Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :

a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;

b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.

c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah mengaktualisasikan diri sebagai berikut:

1. Memiliki persepsi akurat tentang realitas.

2. Menikmati pengalaman baru.

3. Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak.

4. Memiliki standar moral yang jelas.

5. Memiliki selera humor.

6. Merasa bersaudara dengan semua manusia.

7. Memiliki hubungan pertemanan yang erat.

8. demokratis dalam menerima orang lain.

9. Membutuhkan privasi.

10. Bebas dari budaya dan lingkungan.

11. Kreatif.

12. Spontan.

13. Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri.

14. Mengakui sifat dasar manusia.

15. Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain.

Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu dengan menampilakan semua cirri tersebut. Dan tidak hanya orang yang sudah mengaktualisasikan diri yang menampilakan cirri-ciri tersebut. Namun, orang-orang yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya lebih sering menampilkan cirri-ciri tersebut dibandingkan kebanyakan dari kita. Sebagian besar dari lima belas cirri tersebut sudah jelas dengan sendirinya, tetapi kita mungkin bertanya-tanya tentangt pengalaman puncak (experience peak). Maslow mendefinisikan pengalaman puncak sebagai saat-saat tatkala dunia tampak utuh dan orang itu merasa selaras dengannya. Pengalaman puncak selalu melekat dalam diri kita dan mengubah persepsi kita mengenai dunia agar menjadi lebih baik lagi.
Bagi sebagian orang, pengalaman puncak diasosiasikan dengan agama, tetapi bisa juga tercetus melalui seni, musik, dan momen-momen yang memerlukan pengambilan resiko. Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan kesempurnaan. Orang-orang yang bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi potensi dirinya sendiri. Dengan demikian, seseorang bisa saja menjadi tolol, boros, sombong dan tidak sopan sekaligus, tetapi masih tetap bisa mengaktualisasikan dirinya. Orang yang mampu mencapai aktualisasi diri hanya kurang dari satu persen, sebab tidak banyak dari kita yang bisa memenuhi semua kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki.


Teori Drive – Reinforcement

1. Pengertian Teori Drive

Teori ”drive” bisa diuraikan sebagai teori-teori dorongan tentang motivasi, perilaku didorong ke arah tujuan oleh keadaan-keadaan yang mendorong dalam diri seseorang atau binatang. Contohnya., Freud ( 1940-1949 ) berdasarkan ide-idenya tentang kepribadian pada bawaan, dalam kelahiran, dorongan seksual dan agresif, atau drive (teorinya akan diterangkan secara lebih detail dalam bab kepribadian). Secara umum , teori-teori drive mengatakan hal-hal berikut : ketika suatu keadaan dorongan internal muncul, individu di dorong untuk mengaturnya dalam perilaku yang akan mengarah ke tujuan yang mengurangi intensitas keadaan yang mendorong. Pada manusia dapat mencapai tujuan yang memadai yang mengurangi keadaan dorongan apabila dapat menyenangkan dan memuaskan.
Teori-teori Drive berbeda dalam sumber dari keadaan terdorong yang memaksa manusia atau binatang bertindak. Beberapa teori, termasuk teori Freud, dipahami oleh keadaan terdorong sejak belum lahir, atau instingtif. Tentang perilaku binatang, khususnya ahli ethologi telah mengusulkan suatu penjelasan suatu mekanisme dorongan sejak kelahiran (tinbergen, lorenz, dan leyhausen dalam morgan, dkk. 1986). Teori-teori drive yang lain telah mengembangkan peran belajar dalamkeaslian keadaan terdorong. Contohnya, dorongan yang di pelajari (learned drives), seperti mereka sebut, keaslian dalam latihan seseorang atau binatang atau pengalaman masa lalu dan yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Karena penggunaan minuman keras sebelumnya, ketagihan heroin, contohnya mengembangkan suatu dorongan untuk mendapatkan hal tersebut, dan karena itu mendorong ke arah itu. Dan dalam realisasi motif sosial, orang telah belajar dorongan untuk kekuasaan, agresi atau prestasi. Keadaan terdorong yang dipelajari menjadi ciri abadi dari orag tertentu dan mendorong orang itu ke arah tujuan yang memadai, orang lain mungkin belajar motif sosial yang lain dan didorong ke arah tujuan yang berbeda.

Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan Optimal Arousal Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan kinerja (performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat sesuai dengan rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).



Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang muncul mungkin bermacam-macam bentuknya (Budiningsih, 2005). Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need reduction response). Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance) dan reinforcement bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai (Wortman, 2004). Lebih jauh Hull merumuskan teorinya dalam bentuk persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai penentu dari behaviour (perilaku) dalam bentuk:



Behaviour = Drive × Habit



Karena hubungan dalam persamaan tersebut berbentuk perkalian, maka ketika drive = 0, makhluk hidup tidak akan bereaksi sama sekali, walaupun habit yang diberikan sangat kuat dan jelas (Berliner & Calfee, 1996).



Pada periode 1935 – 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa perilaku ditentukan baik oleh person (P) maupun oleh environment (E):



Behaviour = f(P, E)



Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor: tension (t) atau besar kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis orang tersebut dari tujuan (e).



Force = f(t, G)/e



Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik dengan besar gaya (motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia melihat atau mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension yang menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang bervariasi (Berliner & Calfee, 1996).



2. Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory)

Teori ini mempunyai dua aturan pokok : aturan pokok yang berhubungan dengan perolehan jawaban –jawaban yang benar dan aturan pokok lain yang berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban yang salah. Pengukuran dapat terjadi positif (pemberian ganjaran untuk satu jawaban yang didinginkan ) atau negatif ( menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang didinginkan telah diberikan ), tetapi organisme harus membuat antara akasi atau tindakannya dengan sebab akibat.
Siegel dan Lane (1982), mengutip Jablonke dan De Vries tentang bagaimana manajemen dapat meningkatakan motivasi tenaga kerja., yaitu dengan:

1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan

2. Mengkomunikasikan dengan jelas perilaku ini kepada tenaga kerja.

3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima. Tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi

4. Memberikan ganjaran hanya jika jika jawaban yang benar dilaksanakan.

5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan, yang terdekat dengan kejadiannya.


Teori Harapan

Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.

Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
Teori ini diciptakan oleh David Nadler dan Edward Lawler yang didasarkan pada empat asumsi mengenai perilaku dalam organisasi, yaitu:


1. Perilaku ditentukan oleh kombinasi antara faktor faktor yang terdapat dalam diri orang dan faktor-faktor yang terdapat di lingkungan.


2. Perilaku orang dalam organisasi merupakan tindakan sadar dari seseorang, dengan kata lain perilaku seseorang adalah hasi dari sebuah keputusan yang sudah diperhitungkanoleh orang tersebut.


3. Orang mempunyai kebutuhan, keinginan dan tujuan yang berbeda.


4. Orang memilih satu dari beberapa alternatif perilaku berdasarkan besarnya harapan memperoleh hasil dari sebuah perilaku.


Atas dasar asumsi tersebut, Nadler dan Lawler menyusun model harapan yang terdiri dari tiga komponen, yaitu :


1. NILAI (Valence)

Setiap bentuk insentif punya nilai positif atau negatif bagi seseorang. Juga apakah nilai itu besar atau kecil bagi seseorang.

Contoh : Seorang karyawan mendapatkan suatu penghargaan dari perusahaan dengan diberikan plakat, karena bakti kepada perusahaan selama sekian tahun. Tetapi, dampak negatifnya dapat membuat kecemburuan social terhadap karyawan lain. plakat hanya berupa sebuah pajangan yang mempunyai nilai kecil hanya untuk kepuasaan pribadi tidak bias dikomersilkan.


2. INSTRUMENTALITAS

Adanya hubungan antara pekerjaan yang harus dilakukan dengan harapan yang dimiliki. Jadi jika pekerjaan dilihat bisa merupakan alat untuk mendapatkan apa yang diharapkan timbullah motivasi kerja.

Contoh : seseorang mengikuti sebuah lembaga multi level marketing (MLM) dengan mengharapkan keuntungan yang berlimpah, karena bila mengandalkan insentif dari perusahaan tidak cukup memadai sebab bisnis MLM ini cukup menjanjikan.


3. PENGHARAPAN

Persepsi tentang besarnya kemungkinan keberhasilan mencapai tujuan/hasil kerja.
Contoh: seorang karyawan mendapatkan insentif lebih bila melakukan kerja lembur.

Harapan kinerja-hasil. Orang mengharapkan sesuatu dari perilakunya. Harapan ini Hasil dari sebuah perilaku mempunyai kekuatan untuk menggerakkan motivasi. Dampak daya motivasi untuk setiap orang tidak sama. Harapan upaya-kinerja. Antisipasi tentang sulitnya mencapai suatu hasil mempengaruhi orang untuk memilih alternatif perilaku.
Teori Harapan menurut Victor Vroom, teori ini beragumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut. Teori pengharapan mengatakan seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar kesuatu penilaian kinerja yang baik, suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional, seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan tersebut.

Path goal teori, vroom and yetton

Nama Anggota : Dea andelia dwiriani 10507047

: Siti Nurmala 10507229

: Steffy A.N.F 10507234

: Dwi Utami 10507063

: Venninsia .F 10507311



Teori Path Goal

Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).

Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).

Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.

Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.

Secara mendasar, model ini menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan untuk mempengaruhi persepsi bawahan tentang pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan juga menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi dan memberikan kepuasan kepada bawahannya. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:

1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.

Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)

1. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)

Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.

2. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)

Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.

3. Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)

Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.

4. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)

Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.

Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.

Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).

1. Karakteristik Bawahan

Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:

a) Letak Kendali (Locus of Control)

Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.

b) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)

Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.

c) Kemampuan (Abilities)

Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.

1. Karakteristik Lingkungan

pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja dan perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.

Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:

a. Struktur Tugas

Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.

b. Wewenang Formal

Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi

c. Kelompok Kerja

Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.



PEMBUATAN KEPUTUSAN MENURUT VROOM DAN YETTON

Pembuatan keputusan adalah bagian kunci kegiatan manajer. Kegiatan ini memainkan peranan penting, terutama bila manajer melaksanakan fungsi perencanaan. Perencanaan menyangkut keputusan-keputusan sangat penting dan jangka panjang yang dapat dibuat manajer. Dalam proses perencanaan, manajer memutuskan tujuan-tujuan organisasi yang akan dicapai, sumber daya-sumber daya yang akan digunakan, dan siapa yang akan melaksanakna setiap tugas yang dibutuhkan. Seluruh proses peerenacanaan itu melibatkan manajer dalam serangkaian situasi pembuatan keputusan. Kualitas keputusan-keputusan manajer akan menentukan efektifitas rencana yang disusun.
Pembuatan keputusan (decision making) menggambarkan proses melalui mana serangkaian kegiatan dipilih sebagai penyelesaian suatu masalah tertentu. George P. Huber membedakan pembuatan keputusan dari pembuatan pilihan ( choice making) dan dari pemecahan masalah ( problem solving). Dipihak lain, banyak penulis dan manajer menggunakan istilah “pembuatan keputusan dan pemecahan masalah” sebagai istilah yang dapat dipertukarkan, dan dalam bab ini akan digunakan istilah pembuatan keputusan yang mencakup artian keduanya.
Pembuatan keputusan merupakan bagian kunci kegiatan menajer. Dalam proses perencanaan, menajer memutuskan tujuan-tujuan organisasi. Pembuatan keputusan didefinisakan sebagai penentuan serangkaian kegiatan untuk mencapai hasil yang diinginkan.





Authocratic Style:

Manajer membuat keputusan sendiri dan menanyakan informasi dari bawahan akan tetapi keputusan diambil sendiri oleh manajer. Bawahan tidak selalu harus mengetahui informasi mengenai situasi yang dihadapi.



Consultative Style:

Manajer berbagi informasi dengan bawahan secara individual, dan bertanya mengenai berbagai informasi dan evaluasi dari mereka. Akan tetapi manajer mengambil keputusan sendiri. Manajer dan bawahan bertemu sebagai tim untuk mendiskusikan berbagai hal menyangkut situasi yang dihadapi akan tetapi manajer yang mengambil keputusan.



Group Style:

Manajer dan bawahan bertemu sebagai tim untuk mendiskusikan berbagai hal yang menyangkut situasi yang dihadapi dan keputusan ditentukan oleh tim.


KESIMPULAN
Ketiga model teori kepemimpinan yang diuaraikan diatas mempunyai kesamaan dan perbedaan di mana ke semua model-model tersebut berkepentingan :
1. Memusatkan perhatian pada dinamika kepemimpinan.
2. Mendorong adanya riset tentang kepemimpinan.
3. Kontroversial karena: pengukuran, terbatasnya pengujian riset, dan hasil riset yang berlawanan

Kekuasaan dalam Kepemimpinan

Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan. Kekuasaan tak luput hubungannya dengan organisasi dan kepemimpinan. Dalam suatu organisasi sebagai wadah yang memiliki struktur, dimana terdapat seorang pemimpin sebagai atasan dan orang yang dipimpin sebagai bawahannya pasti terdapat didalamnya kekuasaan serta kepemimpinan. Pada kekuasaan selalu melibatkan hubungan antara dua orang atau lebih, karena kekuasaan selalu melibatkan interaksi sosial antar beberapa pihak, lebih dari satu pihak. Dengan demikian seorang individu atau kelompok yang terisolasi tidak dapat memiliki kekuasaan karena kekuasaan harus dilaksanakan atau mempunyai potensi untuk dilaksanakan oleh orang lain.

Dalam pengertiannya, kekuasaan adalah kualitas yang melekat dalam satu interaksi antara dua atau lebih individu. Jika setiap individu mengadakan interaksi untuk mempengaruhi tindakan satu sama lain, maka yang muncul dalam interaksi tersebut adalah pertukaran kekuasaan.

Ada 5 (lima) tipe kekuasaan, yaitu :

1) Reward power

Tipe kekuasaan ini memusatkan perhatian pada kemampuan untuk memberi imbalan, pekerjaan atau tugas yang dilakukan oleh orang lain.

2) Coercive power

Kekuasaan ini bertipe paksaan, dan lebih memusatkan pandangan pada kemampuan untuk memberi hukuman kepada orang lain.

Tipe ini banyak digunakan bawahan untuk melakukan tindakan balas dendam atas perlakuan atau hukuman yang dirasakannya tidak adil, bahkan sangat mungkin bawahan atau karyawan akan meninggalkan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

3) Referent power

Tipe kekuasaan ini didasarkan pada satu hubungan ‘kesukaan’, yang seseorang dapat mengidentifikasi orang lain yang mempunyai kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya.

4) Expert power

Kekuasaan yang berdasar pada keahlian ini, memfokuskan diri pada suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan, pastilah ia memiliki pengetahuan, keahlian dan informasi yang lebih banyak dalam suatu persoalan.

5) Legitimate power

Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang sebenarnya (actual power), ketika seseorang melalui suatu persetujuan dan kesepakatan diberi hak untuk mengatur dan menentukan perilaku orang lain dalam suatu organisasi. Tipe kekuasaan ini bersandar pada struktur social suatu organisasi, dan terutama pada nilai-nilai kultural.

Selain itu kekuasaaan memiliki beberapa sumber-sumber yaitu:

1. kekuasaan yang bersumber pada kedudukan

2. kekuasaan yang bersumber pada kepribadian

3. kekuasaan yang bersumber pada poitik

Dari lima tipe kekuasaan di atas mana yang terbaik? Harus dingat bahwa kekuasaan hampir selalu berkaitan dengan praktik-praktik seperti penggunaan rangsangan atau paksaan guna mengamankan tindakan menuju tujuan yang telah ditetapkan. Seharusnya orang-orang yang berada di pucuk pimpinan, mengupayakan untuk sedikit menggunakan insentif dan koersif. Sebab secara alamiah cara yang paling efisien dan ekonomis supaya bawahan secara sukarela dan patuh untuk melaksanakan pekerjaan adalah dengan cara mempersuasi mereka. Namun terlepas dari semua itu, tipe kepemimpinan apapun yang dipakai, yang terpenting adalah kepribadian dari seorang pemimpin itu sendiri sebagai pondasi dari suatu kekuasaan dalam kepemimpinannya. Karna kepribadian seorang pemimpin sangatlah berpengaruh terhadap gaya kepemimpinannya termasuk hubungannya dengan bawahan.

Leadership Teori Kepemimpinan Partisipatif

Nama kelompok :

Siti Nurmala (10507229)

Dea Andelia (10507047)

Steffy Agustina N.F (10507234)

Dwi Utami (10507063)

Venynsia Dine Febianty (10507311)





TEORI KEPEMIMPINAN



DEFINISI:

Leadership: Teori Kepemimpinan

Kreiner menyatakan bahwa leadership adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sekarela berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi.

Sedangkan Hersey menambahkan bahwa leadership adalah usaha untuk mempengaruhi individual lain atau kelompok. Seorang pemimpin harus memadukan unsur kekuatan diri, wewenang yang dimiliki, ciri kepribadian dan kemampuan sosial untuk bisa mempengaruhi perilaku orang lain.


TEORI KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF


- TIPE PARTISIPATIF:

sebab kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan seimbang antara pemimpin dan bawahan, pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Komunikasi dua arah makin bertambah frekuensinya, pemimpin makin mendengarkan secara intensif terhadap bawahannya. Keikutsertaan bawahan untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan makin banyak, sebab pemimpin berpendapat bahwa bawahan telah memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup luas untuk menyelesaikan tugas.

Ciri-cirinya :

Ø Pemimpin memberikan dukungan tinggi dan sedikit/rendah pengarahan.

Ø Posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipegang secara berganti antara pemimpin dan bawahan.

Ø Komunikasi dua arah ditingkatkan.

Ø Pemimpin mendengarkan bawahan secara aktif.

Ø Tanggung jawab pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sebagian besar pada bawahan.


TEORI KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF

1. Teori x dan y pada Mc Gregor

Teori prilaku adalah teori yang menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin pada orang-orang. Konsep teori X dan Y dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di mana para manajer / pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai / karyawan yaitu teori x atau teori y. Menurut McGregor organisasi tradicional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, terumuskan dalam dua model yang dia namakan Theori X dan Theori Y.

A. Teori X

Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan dan teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih suka diperintah, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab serta menginginkan keamanan atas segalanya. Lebih lanjut menurut asumís teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah :

1. Tidak menyukai bekerja

2. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah

3. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalah organisasi.

4. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.

5. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mncapai tujuan organisasi..

Keuntungan Teori X:
- karyawan bekerja untuk memaksimalkan kebutuhan pribadi

Kelemahan Teori X:
-Karyawan malas
-berperasaan irrasional
- tidak mampu mengendalikan diri dan disiplin

B. Teori Y

Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja, untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakan teori Y. asumís teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakekatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia hádala sebagai berikut:

1. Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan lepada orang. Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jira keadaan sama-sama menyenangka.

2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.

3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.

4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.

5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jira dimotivasi secara tepat.

Dengan memahami asumís dasar teori Y ini, McGregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan desempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.

Keuntungan Teori Y:
- pekerja menunjukkan kemampuan pengaturan diri,
- tanggung jawab
- inisiatif tinggi
- pekerja akan lebih memotivasi diri dari kebutuhan pekerjaan


Kelemahan Teori Y:
- apresiasi diri akan terhambat berkembang karena karyawan tidak selalu menuntut kepada perusahaan



1. Gaya empat system manajemen oleh Rensis Likert



1. Sistem 1 (exploitive authoritative),

Pemimpin sangat otokratis, mempunyai sedikit kepercayaan kepada bawahan, suka mengekplotasi bawahan, bersikap paternalistik memotivasi dengan memberi ketakutan dan hukuman-hukuman, diselang seling pemberian penghargaan yang secara kebetulan (occasional reward), hanya mau memperhatikan pada komunikasi yang turun ke bawah, dan hanya membatasi proses pengambilan keputusan di tingkat atas.



2. Sistem 2 (benevolent authoritative/otokrasi yang baik hati),

Mempunyai kepercayaan yang berselubung, percaya pada bawahan, mau memotivasi dengan hadiah-hadiah dan ketakutan berikut hukuman-hukuman, memperbolehkan adanya komunikasi ke atas, mendengarkan pendapat-pendapat, ide-ide dari bawahan, dan memperbolehkan adanya delegasi wewenang dalam proses keputusan, bawahan merasa tidak bebas untuk membicarakan sesuatu yang bertalian dengan tugas pekerjaannya dengan atasan.



3. Sistem 3 (manajer konsultatif),

Mempunyai sedikit kepercayaan pada bawahan, biasanya dalam perkara kalau ia memerlukan informasi, ide atau pendapat bawahan; masih menginginkan melakukan pengendalian atas keputusan-keputusan yang dibuatnya; mau melakukan motivasi dengan penghargaan dan hukuman yang kebetulan; dan juga berkehendak melakukan partisipasi; menetapkan dua pola hubungan komunikasi, iaitu ke atas dan ke bawah; membuat keputusan dan kebijakan yang luas pada tingkat bawah; bawahan merasa sedikit bebas untuk membicarakan sesuatu yang bertalian dengan tugas pekerjaan bersama atasan.



4. Sistem 4 (partisipative group/kelompok partisipatif),

Mempunyai kepercayaan yang sempurna terhadap bawahan; dalam setiap persoalan selalu mengandalkan untuk mendapatkan ide-ide dan pendapat-pendapat lainnya dari bawahan, dan mempunyai niatan untuk mempergunakan pendapat bawahan secara konstruktif; memberikan penghargaan yang bersifat ekonomis dengan berdasarkan partisipasi kelompok dan keterlibatannya pada setiap urusan terutama dalam penentuan tujuan bersama dan penilaian kemajuan pencapaian tujuan tersebut; mendorong bawahan untuk ikut bertanggung jawab membuat keputusan, dan juga melaksanakan keputusan tersebut dengan tanggung jawab yang besar; bawahan merasa secara mutlak mendapat kebebasan



C. Model Leadership Continuum



Teori ini merupakan hasil pemikiran dari Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis.



Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.



Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok.



Menurut teori kontinun ada tujuh tingkatan hubungan peminpin dengan bawahan :



1. Pemimpin membuat dan mengumumkan keputusan terhadap bawahan (telling).



2. Pemimpin menjual dan menawarkan keputusan terhadap bawahan (selling).



3. Pemimpin menyampaikan ide dan mengundang pertanyaan.



4. Pemimpin memberikan keputusan tentative, dan keputusan masih dapat diubah.



5. Pemimpin memberikan problem dan meminta sarang pemecahannya kepada bawahan (consulting).



6. Pemimpin menentukan batasan – batasan dan minta kelompok untuk membuat peputusan.



7. Pemimpin mengizinkan bawahan berfungsi dalam batas – batas yang ditentukan (joining).



- Jadi, berdasarkan teori continuum, perilaku pemimpin pada dasarnya bertitik tolak dari dua pandangan dasar :



1. Berorientasi kepada pemimpin.



2. Berorientasi kepada bawahan.

“Wewenang Suatu Model Untuk Mempengaruhi Perilaku”

Wewenang menitikberatkan pada peranan kekuasaan (power) di dalam proses mempengaruhi perilaku. Wewenang merupakan suatu jenis kekuasaan. Sebagian besar dari kita mempunyai kekuasaan "keahlian", misalnya Perawat. Sebagian dari kita mempunyai kekuasaan "hubungan" yaitu kekuasaan yang muncul dari hubungan kita dengan orang-orang lain yang berkuasa. Pengertian wewenang yang utama adalah mengenai pangkat, peranan dan posisi yang resmi sebagai alat untuk mengendalikan dan mempengaruhi perilaku atau pribadi-pribadi yang lainnya. Wewenang sebagai suatu alat untuk membatasi perilaku (sekalipun jika pembatasan itu menimbulkan frustasi), untuk menciptakan keserbasamaan dengan jalan meratakan perbedaan individual. Wewenang sungguh-sungguh berguna karena merupakan suatu mekanisme untuk melakukan koordinasi dan pengendalian didalam organisasi. Sesungguhnya jika wewenang dipergunakan sebagai alat untuk mempengaruhi perilaku, hal itu bukanlah demi pengaruh tetapi demi organisasi. Lagi pula, bila sebagian besar wewenang dipergunakan terlalu sering untuk membatasi perilaku individu dan demikianlah hal nya organisasi-organisasi industri merupakan tempat dimana orang tidak dapat melakukan hal yang sesuai dengan apa yang mereka sukai, dimana orang dituntut untuk tunduk kepada peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman pembatasan tertentu.



Ø Keuntungan Wewenang:

1. Dapat mempermudah dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan perilaku, sifatnya sederhana dan mudah. Karena dapat dilakukan tanpa memerlukan suatu pikiran, keunggul dalam kecepatan, begitu wewenang dilontarkan pasti secara langsung bawahan akan menjalankan perintahnya serta efisien, sebab dapat digunakan terhadap sejumlah besar orang pada waktu yang bersamaan.

2. Wewenang juga mempunyai keuntungan memaksakan dan penyesuaian terhadap suatu organisasi. dengan suatu ancaman untuk mengurangi beberapa kesempatan pemuasan kebutuhan, sejumlah orang dapat dibuat menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan pokok.



Ø Kerugian Wewenang:

Dapat menimbulkan ketergantungan dari bawahan terhadap atasannya serta dapat membuat bawahannya frustasi karena wewenang atau keinginan atasan yang selalu membatasi dan mengatur setiap perilaku bawahannya.





“Model Kerjasama”



Kerjasama adalah suatu keingnan dari setiap personal untuk bekerjasama dengan orang lain atau individu lain secara kooperatif dan ingin masuk menjadi bagian dari suatu kelompok. Dan bekerjasama secara kelompok dalam mengerjakan suatu kegiatan, bisa dengan cara saling berkompetisi untuk menjadikan kelompok tersebut menjadi lebih baik. Kompetensi kerjasama menekankan peran sebagai anggota kelompok bukan sebagai pemimpin. Dengan cara kerjasama kita akan menjadi lebih mudah, karena dari sekian banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan bisa dikerjakan secara kelompok bukan individu atau perseorangan. Kerjasama untuk menghasilkan hasil yang baik dapat dilihat dari suatu teamwork yang anggotanya memiliki kemampuan atau keahlian dan kerajinan.



Ø Keuntungan Kerjasama:

1. Dapat menampung semua ide, kreatifitas atau pendapat dari anggota kelompok kita dalam membuat keputusan atau dalam pembuatan dan penyelesaian dari suatu tugas atau kegiatan,

2. Dapat menghargai pendapat dari orang lain.

Ø Kerugian Kerjasama:

1. Bekerjasama di dalam sebuah kelompok dapat mempermudah mengerjakan suatu perkerjaan dengan mudah tetapi terkadang orang menyepelekan pekerjaan tersebut dan mengandalkan orang lain untuk mengerjakan pekerjaannya.

2. Mungkin sebagian besar orang akan sangat sulit menyatukan beberapa pikiran atau pendapat dari anggota kelompok lainnya. Dan ada juga satu anggota dari kita yang mungkin tidak sejalan pemikirannya dengan anggota yang lainnya.





“Model Kekuasaan Manipulasi”

Model-model manipulasi sudah lama kita kenal. Model ini nampak pada tulisan-tulisan Machiavelli dan bahkan sebelunnya. Model manipulatif untuk menghasilkan perubahan telah berkembang terutama didalam keadaan dimana penggunaan wewenang adalah muntahil, yaitu keadaan dimana A merupakan teman yang setaraf kedudukannya dengan yang B atau bawahan dari B. Beberapa model manipulatif mempunyai ide-ide pokok sebagai berikut: Para A yang manipulatif cendrung untuk mengembangkan hubungan yang akrab dengan B, yang pada umunya merupakan hubungan ketergantungan, dan kemudian mempergunakan sebagai alat. model manipulatif kebanyakan terdiri dari dua tahap yaitu tahap hubungan dan kemudian tahap mempengaruhi. Para A yang manipulatif biasanya sensitif terhadap kebutuhan-kebutuhan dan emosi manusia, dan mereka cenderung sedikit demi sedikit serta lebih banyak mempergunakan cara yang tidak langsung ketimbang cara yang langsung sebagian besar dari kita menganggap bahwa manipulasi adalah suatu perkataan yang mengandung konotasi yang tercela. tetapi didalam banyak situasi metode tersebut bermanfaat dan menurut ukuran umum sesuai dengan normal.

Ø Keuntungan Manipulasi:

1. Dapat mempengaruhi perilaku induvidu tanpa paksaan,

2. Dapat lebih waspada dengan penampilan seseorang karena penampilan tersebut dapat dimanipulasi.

Ø Kerugian Memanipulasi:

1. Merugikan seseorang dalam bentuk negatif,

2. Berjalan lambat karena membutuhkan proses untuk menyakininya.

“Model Tekanan atau Paksaan”

Biasanya untuk memperoleh kekuasaan yang memaksa ini menggunakan teknik – teknik yang memaksa oranglain, sehingga membuat orang tersebut untuk tunduk dan mengikuti perintahnya, seperti dengan pemerasan, tekanan, ancaman, dan lain-lain. Penerapannya dalam kehidupan nyata lebih cenderung dijumpai pada tindakan – tindakan yang negatif, khususnya dalam dunia kriminal yang kini kian meningkat jumlahnya. Salah satu contohnya yaitu pemerasan yang dilakukan oleh perampok yang sengaja membuat kelompok atau geng, sehingga karena jumlah mereka yang lebih banyak daripada kita dan ditambah lagi dengan ancaman – ancaman yang diucapkan mereka membuat kita merasa takut dan tertekan, sehingga kita menjadi patuh terhadap perintah mereka.

Ø Keuntungan model tekanan dan paksaan :

Seseorang akan menjadi patuh dengan kita akibat tekanan-tekanan atau paksaan yang kita lakukan kepada mereka.

Ø Kerugian model tekanan dan paksaan:

Dapat membuat orang menjadi trauma atas tekanan, pemerasan, ancaman yang dialami olehnya.